Tutorial, Internet, Hardware, Software, Os, Linux, Android, Security, Mikrotik

22 October, 2010

Teungku Jamaika, Pria Bergelar Komputer

Bacaan ini di ambil dari harian aceh


Di masa konflik, ia merupakan pria di balik suara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke berbagai media. Ia menyusun release propaganda dari berbagai tempat. Di balik perang urat saraf di media itu, ia ingin mendirikan sekolah gratis untuk masyarakat. Setelah damai ia pun mewujudkannya. 
Pria berpostur mungil ini lahir di Meurandeh Paya, Sampoiniet, Aceh Utara, 5 April 1977 silam. Mencerdaskan anak-anak korban konflik dan kurang mampu adalah perjuangan yang sesungguhnya bagi dia.
Meskipun pernah bergerilya dan berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan lain, pria yang sering disapa Jamaika ini memandang perang harus dilupakan. Mewariskan dendam untuk generasi mendatang, justru merusak masa depan mereka. 

Dengan bantuan fasilitas dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, Jamaika membuka sekolah komputer gratis untuk anak-anak korban konflik, korban tsunami dan anak-anak kurang mampu. Di sekolah berbasis masyarakat itu, mereka dipandu oleh beberapa tutor yang sudah mahir mempergunakan komputer. Ada 25 unit komputer yang tersambung internet tempat mereka merenda masa depan.
Tidak salah jika di kalangan GAM Tgk Jamaika diberi gelar komputer. Sekolah tersebut bisa jadi jawabannya, kenapa dirinya dipanggil dengan komputer. “Saya ingin agar anak-anak korban konflik mandiri, dan bisa berkembang,” katanya singkat.

Sejak damai bersemi di Aceh, aktivitas Jamaika tak lagi dihabiskan di depan komputer, mengirim rilis ke media dan membantah pernyataan petinggi TNI. Malah, Jamaika berharap tak lagi melakoni pekerjaan tersebut.
Dulu, saat Aceh dibalut konflik, pernyataannya saban hari dirilis media, baik lokal, nasional maupun internasional. Sebagai salah seorang juru bicara Tentara Neugara Aceh (TNA), sayap militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Tgk Jamaika kerap menebar perang urat saraf di media. pernyataannya membuat petinggi militer di Jakarta berang.
Dalam salah satu babak perang urat saraf dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Juru bicara GAM Wilayah Pase itu pun pernah dinyatakan meninggal. “Saya 'ditewaskan' oleh Panglima Komando Operasi (Pangkoop) TNI, Bambang Darmono,” kata Tgk Jamaika membantah. Bantahan itu dimuat di koran terbitan Jakarta tahun 2003 silam.
Bambang Darmono menduga Jamaluddin Kandang, seorang TNA yang tewas dalam sebuah pertempuran sebagai Tgk Jamaika, tokoh GAM yang termasuk paling dicari saat Darurat Militer (DM) diberlakukan di Aceh.
Saya yang berada di Jakarta, sempat kaget mendengar berita tewasnya Tgk Jamaika. Sebagai orang yang pernah akrab dengan Tgk Jamaika, saya tidak percaya pernyataan Bambang Darmono. Saya menganggap itu sebagai bagian perang urat saraf antara Tgk Jamaika dengan Pangkoop TNI tersebut.
Keraguan itu pula yang kemudian menggerakkan hati saya untuk menghubungi Jamaika melalui nomor hand phone (HP) yang pernah diberinya saat masih berada di Aceh. Keraguan saya berubah menjadi gembira, ketika mendengar suara di seberang, persis seperti suara Jamaika yang pernah saya kenal. “Saya baik-baik saja. Sekarang berada di tempat yang aman,” jawabnya mantap.

Selang beberapa bulan kemudian, saya bertemu langsung dengan Tgk Jamaika di Meunasah Aceh, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kebetulan hari itu, ada acara doa bersama untuk almarhum ibu Tgk Nasruddin Abubakar, presidium Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang sekarang menjabat Wakil Bupati Aceh Timur.

Tubuhnya lebih kurus dari biasanya. Penampilannya biasa saja. Wajahnya pucat. Hari itu, Tgk Jamaika seperti teman-teman yang lain ikut berdoa. Tak banyak bersuara. HP-nya sesekali berdering.
Selepas itu kami lebih sering bertemu.
SAYA mengenal Tgk Jamaika ketika berkunjung ke kantor SIRA. Pertama melihatnya, saya sama sekali tidak yakin bahwa orang yang saya lihat adalah Tgk Jamaika, juru bicara GAM yang setiap hari pernyataannya dikutip media.

Selepas itu, kami sudah sering berkomunikasi. Hubungan saya dengan Tgk Jamaika semakin akrab setelah saya tinggal di kantor Koalisi Gerakan mahasiswa dan pemuda Aceh Barat (Kagempar), di Lamprit, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh.

Saya melihat bagaimana setiap hari dia menghimpun data pelanggaran HAM di lapangan. Jam 4 sore, Tgk Jamaika sudah mengurung diri di kamar dan merekap semua laporan yang masuk untuk dikirim ke media.
Selepas Magrib, pernyataannya sudah difax dan dikirim ke berbagai media, baik lokal, nasional dan internasional. Anehnya, Tgk Jamaika sama sekali tidak menggunakan mesin fax, melainkan progam winfax yang sudah diinstall di laptop Sony VAIO miliknya. Untuk koneksi internet, Tgk Jamaika menggunakan HP.

Meskipun Tgk Jamaika melakukan pengiriman berita dari kantor Kagempar di Lamprit, hasil fax yang diterima oleh media berasal dari nomor fax markas besar GAM di Sweden. Jika saya tidak melihat langsung bagaimana dia mengirimkan pernyataannya, saya tidak percaya bahwa faks itu berasal dari kawasan Lamprit.

Tapi, Tgk Jamaika tetap misterius. Di kantor Kagempar, misalnya, tak banyak yang tahu bahwa dia adalah Tgk Jamaika. Di kalangan aktivis ia menggunakan nama Muhammad. Soal nama asli, Tgk Jamaika sama sekali tidak memberi tahu saya. Saya baru tahu nama asli dia ketika damai bersemi di Aceh pasca-MoU Helsinki, 15 Agustus 2005 lalu. Ternyata Dani, adalah nama panggilan dari nama panjangnya Syardani M. Syarif.
Saya bersama beberapa kawan pernah berkunjung ke markas besar GAM di Alue Dua, Nisam, Aceh Utara sekitar akhir Januari 2002. Di markas tersebut saya melihat ada beberapa unit komputer, laptop, dan printer. Markasnya benar-benar mirip sebuah kantor LSM di Banda Aceh. Ada ruang tamu, ruang meeting, ruang kerja, ruang tidur dan dapur. Di sekeliling markas tersebut, ada gubuk kecil yang dijaga 24 jam oleh pasukan GAM.
Di markas besar itu pula, saya pertama kali melihat Tgk Sofyan Dawood dan Tgk Muzakkir Manaf secara langsung. Sebelumnya, wajah kedua tokoh GAM yang berpengaruh ini hanya terpampang di media massa.
Saya pernah tersenyum kecil ketika melihat Tgk Sofyan Dawood bermain game race di laptop di kantor tersebut. “TNI capek mencari Sofyan Dawood, ternyata dia cuma main game balap di markas,” ucap saya dalam hati.

Semua komputer dan laptop di markas tersebut di bawah kontrol Tgk Jamaika. Foto-foto latihan, foto penyerangan TNI, foto kegiatan GAM semua tersimpan rapi di laptop dan komputer lewat tangan Tgk Jamaika.
Di kalangan GAM, menggunakan nama sandi adalah hal lumrah. Begitu juga dengan Tgk Jamaika. Dia menjadi orang ke sekian yang menggunakan nama sandi Jamaika. Masa kecil dihabiskannya di kampung, dan bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Negeri Hagu Buwah, Baktiya, SMP Negeri Sampoiniet, Baktiya, SMA Negeri Baktiya, semuanya di  Aceh Utara. Setamat dari SMA Baktiya, Syardani melanjutkan kuliah di Banda Aceh. Tetapi, katanya, dia hanya sempat kuliah sampai semester VII (tujuh), pada Jurusan Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH), Banda Aceh. Selepas itu non-aktif, sampai sekarang.
Tgk Jamaika non-aktif bukan karena tidak sanggup lagi membiayai kuliah, melainkan akibat membaca sebuah seruan GAM akhir tahun 1998. Setelah membaca seruan itu, cerita Jamaika, dirinya weueh hate (bersedih), bukan karena isi seruan tetapi cara membuat surat itu masih diketik dengan menggunakan mesin ketik biasa.
Sejak itu, hatinya tergerak untuk terlibat dalam perjuangan GAM. Abu Sayed Adnan, Gubernur GAM Pase yang kini almarhum tersebut berjasa di balik bergabungnya Syardani dalam barisan GAM. Oleh Abu Sayed, Syardani diserahi tugas bidang IT dan mengajari kombatan GAM menggunakan komputer terutama yang dipandang mampu mengutak-atik perangkat lunak tersebut.
Soal nama, katanya, membuat komunikasinya dengan para kombatan dan juga Abu Sayed jadi kendala. Pasalnya, jika butuh bantuannya, tak ada yang tahu memanggilnya dengan nama siapa. Karena saat itu dikenal pintar mengutak-atik komputer, Abu Sayed memutuskan memanggil namanya dengan sandi 'komputer'.

Setelah seminggu di markas GAM tersebut, saya kembali ke Banda Aceh, dan kuliah seperti biasa. Baru beberapa bulan kemudian saya mendengar lagi suara Tgk Jamaika. “NZ ditangkap!” katanya memberitahu tentang penangkapan Ketua Dewan Presidium Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA).

Malam itu merupakan malam lebaran haji, 12 Februari 2002. Tgk Jamaika menelepon langsung dari markasnya di Alue Dua, Nisam, Aceh Utara. Malam itu, saya, Muhammad MTA, dan Nasruddin Abubakar tidur di kantor SIRA di kawasan Peunayong. Saya yang mengangkat telepon. “Nyoe soe? (ini siapa),” tanya saya karena penasaran. “Nyoe lon Tgk Dani,” jawab suara di seberang.
Setelah itu saya baru tahu kalau yang menelepon adalah Tgk Jamaika. Saya hanya diam saja, karena bingung. Bagaimana mungkin Tgk Jamaika yang sedang berada di hutan Nisam tahu tentang penangkapan Ketua SIRA, sementara kami yang tidur di Kantor SIRA tidak mengetahuinya.
Tanpa komando, saya membangunkan MTA, dan Tgk Nasruddin. Semua kawan akhirnya dikontak satu per satu memberi tahu informasi yang disampaikan Tgk Jamaika. Telepon itulah kontak terakhir saya dengan Tgk Jamaika pada masa Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) berlaku di Aceh. Dua bulan kemudian seluruh Aceh diberlakukan Darurat Militer, dan para aktivis harus mengungsi ke Jakarta, termasuk saya.
DI JAKARTA, kami pernah tinggal satu rumah dalam waktu yang cukup lama. Kami sama-sama tinggal di kantor Aceh Support Groups (ASG) lembaga advokasi Aceh yang didirikan oleh beberapa kawan aktivis dari SIRA, KARMA, CeSAR, dan lembaga lainnya.

Di kantor ASG, aktivitas Tgk Jamaika seperti di kantor Kagempar terulang kembali. Cara dan waktu kerja dia persis sama. Tgk Jamaika diberi tugas merekap semua laporan dari medan perang yang dikirim oleh juru bicara atau panglima-panglima GAM dari 17 wilayah teritorial GAM seluruh Aceh.

Biasanya, untuk wawancara dalam bahasa Inggris dengan media asing, Tgk Jamaika pasti sudah menyiapkan bahan atau pernyataan apa yang ingin disampaikan di laptop Sony VAIO miliknya. Wartawan yang ingin mewancarainya pasti diminta menelepon balik sekitar sepuluh sampai 15 menit kemudian. Waktu sepuluh menit itulah digunakannya untuk menyiapkan pernyataan, termasuk dalam bahasa Inggris. Para wartawan hanya hafal suaranya. Sementara wajahnya sama sekali tidak diketahui.
Jamaika benar-benar misterius. Saya sendiri juga sering memperhatikannya setiap kali melayani wawancara dari wartawan. Kepada mereka, Tgk Jamaika memberi tahu sedang berada di salah satu markas GAM di gunung. Saya jadi heran, bagaimana bisa Tgk Jamaika menyembunyikan tempat persembunyiaannya.

Karena penasaran, saya mencoba memperhatikan gerak-gerik dirinya. Lama juga saya harus menunggu momen, bagaimana siasat Tgk Jamaika menyembunyikan lokasi aslinya. Ternyata, setiap kali menerima telepon, Tgk Jamaika pasti masuk kamar.
Setelah mengangkat telepon, Tgk Jamaika tak langsung berbicara, tetapi membunyikan suara kicauan burung atau suara ombak laut dari Laptopnya yang selalu standby, layaknya di sebuah hutan belantara atau tepi pantai beberapa detik. Selepas itu baru berbicara.
Sering juga ketika sedang berbicara, tiba-tiba HP-nya diputusin. Ketika si wartawan menelepon balik, Tgk Jamaika mengaku di tempatnya sedang kehilangan sinyal, karena harus berpindah ada informasi TNI mendekati markas GAM.

“Pakon watee teungoh neupugah haba, tiba-tiba Hp sereng neupeumate (Kok sering kali ketika berbicara, tiba-tiba HP dimatiin?” tanya saya iseng.
“Kiban han tapeumate, wate teungoh ta telepon ka su Bajaj (Gimana nggak dimatiin, pas lagi saya ngomong tiba-tiba kedengaran suara Bajaj lewat?” jawabnya enteng. Soalnya, jika tetap melayani telepon, si wartawan pasti tahu bahwa Tgk Jamaika bukan di gunung, tetapi di Kota Jakarta atau di kawasan Pulau Jawa. Hal yang sama juga dilakukan setiap kali terdengar Adzan.

Kini banyak orang bertanya-tanya, ke mana dan apa pekerjaan Tgk Jamaika sekarang. Seperti halnya beberapa tokoh GAM lainnya, nama Tgk Jamaika seperti tenggelam ditelan bumi. Jarang sekali media mengekposenya sekarang. Jamaika sempat bekerja di BRR. Setelah habis masa tugas BRR di Aceh, tak ada yang tahu di mana pria berjuluk si komputer itu.
Suatu kali, melalui yahoo messenger, Jamaika mengaku sedang berada di Malaysia mengikuti kursus bahasa Inggris yang dibiayai Pemerintah Aceh. Ternyata, belakangan Jamaika sibuk sebagai anggota tim asistensi Gubernur di bidang transisi.(Taufik Al Mubarak)

1 comment:

Terima kasih atas komentarnya